Rabu, 01 Desember 2010

Obat Tanpa Label Harga

Labelisasi sangat penting agar masyarakat tidak tertipu dengan harga obat di pasaran.
Belum adanya informasi harga obat yang akuratdi pasaran membuat masyarakat berada dalam posisi tidak bisa memilih. Mereka hanya bisa pasrah dengan penentuan harga obat sepihak oleh apotek ataupun took obat tanpa mengetahui harga yang sebenarnya. Karenanya, seringkali mereka terpaksa membeli obat dengan harga yang lebih mahal dari yang seharusnya.
Bukan hanya harga, tidak adanya nama generik membuat masyarakat juga tidak bisa memilih obat dengan kandungan yang sama namun dengan harga yang lebih terjangkau. Padahal jika saja masyarakat mengetahui hal itu, tentu akan membuat masyarakat semakin cerdas dalam memahami kandungan obat. Implikasinya adalah mereka bisa memilih alternatif obat yang sama baik kandungannya namun dengan harga yang terjangkau.
Untuk mengatasi hal itu, awal Februari 2006 pemerintah mengeluarkan Permenkes No. 069/Menkes/SK/II/2006 tertanggal 7 Februari 2006, tentang kewajiban pencantuman label harga eceran tertinggi (HET), dan juga nama generik obat yang bersangkutan. Tujuannya, untuk memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat tentang harga obat sekaligus upaya untuk mencerdaskan masyarakat.
Sejak dikeluarka Februari lalu, pemerintah memberikan tenggang waktu enam bulan untuk proses sosialisasi sekaligus pemasangan label oleh produsen obat. Bahkan, toleransi waktu diberikan lagi hingga kahir Desember 2006, sebelum pemerintah menyatakan akan hendak menindak produsen yang belum memasang label HET dengan ancaman penarikan produk dari pasaran.
Sayangnya, meski tenggang waktu sudah habis, namun hingga hingga kini masih banyak produsen obat yang belum melakukan kewajibannya. Dan sekian banyak obat yang beredar di pasaran, sedikit sekali yang sudah memasang label HET dan nama generik dari produk yang dijualnya. Fakta ini terbukti dalam inspeksi mendadak yang digelar Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, Selasa (9/1).
Dalam kunjungan mendadaknya, ke dua tempat yaitu apotek RS Cipto Mangunkusumo dan apotek Melawai di Jl. Matraman, Menkes menemukan hamper sebagian besar obat-obatan yang dijual belum mencantumkan label harga dan nama generiknya. Bukan hanya itu, Menkes juga menemukan fakta ada obat yang sudah mencantumkan label HET namun dijual di atas harga yang seharusnya.
Ini terjadi di apotek Melawai Matraman. Obat cacing merek Combantrin isi dua tablet produk Pfizer, dalam label HET tercantum harga jualnya adalah Rp 8.000. Namun, oleh apotek yang bersangkutan, obat ini dijual seharga Rp 8.200 atau Rp 200 lebih mahal daripada seharusnya.
Usai melakukan sidak, Menkes menyatakan kunjungan ini dilakukan untuk mengecek apakah apotek sudah mentaati aturan pemerintah terkait pemasangan label HET. “Labelisasi sangat penting agar masyarakat tidak tertipu dengan harga obat di pasaran.” Katanya. Pasalnya ungkap Menkes, saat ini pihaknya menemukan masih banyak obat yang belum mencantumkan label harga.
Selain itu, Menkes juga melihat masyarakat masih tenang-tenang saja dengan obat yang belum ada label harganya. “Mungkin karena mereka sudah merasakan harga obat sudah menjadi murah, sehingga tidak ribut ketika obat yang dijual belum ada labelnya,” jelasnya. Meski begitu, Menkes menyatakan ia tetap meminta agar setiap produsen memasang label harga demi kepentingan masyarakat banyak.

Sumber : Harian Republika, 10 Januari 2007, hal 22
Drs. Amin Widjaja Tunggal, Ak, MBA., 2008, Etika Bisnis (Suatu Pengantar),
Harvarindo, Jakarta.

Lebih Separuh SPBU Curang

Jakarta – Tim Terpadu Pemantauan, Pengawasan, dan Pengendalian Dampak Kenaikan Harga serta Penyalahgunaan Penyediaan dan Pelayanan Bahan Bakar Minyak (Timdu BBM) menemukan lebih dari separuh atau tepatnya 52,53% Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) milik PT. Pertamina (persero) terbukti melakukan kecurangan. Kecurangan dilakukan dengan cara sederhana hingga menggunakan alat pengendali jarak jauh (remote control)
Ketua Timdu BBM Slamet Singgih mengatakan, temuan tersebut didapat dar pengamatan sekitar 228 SPBU yang disidak PT Pertamina selama Januari – Juni 2006. Dari jumlah itu, 120 unit SPBU di antaranya diduga telah melakukan pelanggaran.
“Dari jumah itu, sebanyak 83 SPBU sudah dikenakan sanksi penghentian sementara pasokan antara 1 minggu sampai2 bulan. Sisanya masih dalam proses,” ujar Singgih dalam jumpa pers di Jakarta.
Total kerugian konsumen akibat kecurangan tersebut diperkirakan mencapai Rp 4,7 miliar. Kerugian terbanyak dari pembelian BBM jenis premium, yakni sebesar Rp 3,97 miliar.
Singgih mengatakan ke-228 SPBU yang disidak seluruhnya berada di Pulau Jawa. Pelanggaran terbanyak ditemukan di wilayah Unit Pemasaran (UPms) III Pertamina yang meliputi wilayah DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Sementara itu, anggota Komisi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) DPR Bambang Wuryanto menganggap sanksi yang diberikan Pertamina tersebut sangat jauh dari maksimal. Ia menilai pelanggaran yang dilakukan SPBU itu sudah merupakan tindak pidana. Bambang menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Misalnya, jenis BBM berupa premium dan solar itu masih diberikan subsidi. Artinya, anggaran Negara masih ada di dua jenis BBM tersebut.

Sumber : Koran Seputar Indonesia, 28 Juli 2006, hal 16
Drs. Amin Widjaja Tunggal, Ak, MBA., 2008, Etika Bisnis (Suatu Pengantar),
Harvarindo, Jakarta

ETIKA BISNIS : Pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis.

Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang perilaku manusia yang penting. Apa yang diharapkan dan mengapa kita mempelajari Etika Bisnis? Menurut K. Bertens, ada 3 tujuan yang ingin dicapai, yaitu :
1. Menanamkan atau meningkakan kesadaran akan adanya demensi etis dalam bisnis. Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu. Orang yang mendalami etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.
2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat. Dalam etika sebagai ilmu, bukan Baja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Melalui studi etika diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.
3. Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat didalam profesinya (kelak). Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah studi etika ini menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak memaksa. Disisi lain, studi dan pengajaran tentang etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas tingkah laku pebisnis. Bila studi etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.
Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu :
1. Sudut pandang ekonomis. Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.
2. Sudut pandang moral. Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.
3. Sudut pandang Hukum Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan "Hukum" Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Dari sudut pandang hukum pun jelas, bahwa bisnis yang baik adalah yang diperbolehkan oleh sistem hukum yang berlaku. (penyelundupan adalah bisnis yang tidak baik). Yang lebih sulit jawabnya adalah bila bisnis dilihat dari sudut pandang moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan bisnis.
Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 tolok ukur yaitu :
1. Hati nurani: Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan hati nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani, keputusan yang diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut memenuhi kehendak Tuhan.
2. Kaidah Emas : Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas (positif), yang berbunyi : "Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan" Kenapa begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik. Kalau begitu yang saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Rumusan Kaidah Emas secara negatif : "Jangan perlakukan orang lain, apa yang Anda sendiri tidak ingin akan dilakukan terhadap diri Anda" Saya kurang konsisten dalam tingkah laku saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan dilakukan terhadap diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik (dari sudut pandang moral).
3. Penilaian Umum : Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial. Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu perusahaan dipastikan, demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh penilaian masyarakat umum.
Sumber:
http://webcache.googleusercontent.com/www.scribd.com/doc/ETIKA-BISNIS+peraturan+dalam+etika+bisnis
Powered By Blogger